Petitum Permohonan |
Adapun alasan – alasan hukum Pemohon dalam mengajukan permohonan Praperadilan adalah sebagai berikut :
- DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN
- Tindakan upaya paksa, seperti penetapan Tersangka, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang – undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia atau hak konstitusional. Menurut Andi Hamzah (1986:10) praperadilan merupakan tempat mengaduhkan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu, praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap tindakan sewenang – wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan Hak Asasi Manusia sebagai Tersangka/Terdakwa dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Berdasarkan pada nilai – nilai itulah penyidik dan penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan Tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati – hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.
- Pasal 1 angka 10 Kitab Undang – undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) berbunyi sebagai berikut :
“Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang – undang ini, tentang :
- Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka.
- Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaaan demi tegaknya hukum dan keadilan.
- Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
- Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah :
“Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang – undang ini tentang :
- Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.
- Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
- Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan Tersangka seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014, dan amar putusannya sebagai berikut :
“Pasal 77 huruf a Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan penyitaan;
Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa penetapan tersangka merupakan bagian dari wewenang praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
- ALASAN – ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN
Bahwa terkait dengan permohonan praperadilan yang Pemohon sampaikan ini adalah dimulai dengan adanya Laporan Polisi Nomor : LP/B/170/VI/2022/ SPKT/POLRES MINAHASA SELATAN/POLDA SULAWESI UTARA, tanggal 06 Juni 2022 oleh Mikha SBJP Kaunang sebagai Pelapor atas dugaan tindak pidana persetubuhan dengan anak, sebagaimana dimaksud dalam pasal 81 ayat 2 (2) UU RI No.17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan kedua atas UU RI No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang, oleh Pemohon;
- Bahwa Laporan Polisi Nomor : LP/B/170/VI/2022/ SPKT/POLRES MINAHASA SELATAN/POLDA SULAWESI UTARA, tanggal 06 Juni 2022 oleh Mikha SBJP Kaunang sebagai Pelapor atas dugaan tindak pidana persetubuhan dengan anak, sebagaimana dimaksud dalam pasal 81 ayat 2 (2) UU RI No.17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan kedua atas UU RI No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang yang diancamkan kepada Pemohon adalah laporan yang tidak mendasar hukum, sebab Pelapor adalah orang dewasa yang saat melaporkan peristiwa hukum tersebut telah berusia 18 Tahun 8 bulan, demikian pula kehamilan Pelapor adalah karena persetubuhan atau hubungan intim dengan Pemohon yang sama-sama berusia dewasa, sehingga proses hukum berdasarkan UU Perlindungan Anak adalah Proses hukum yang tidak sah.
- Bahwa pertama kali Pemohon dipanggil Termohon sesuai surat panggilan Nomor : B/379/VI/2022/Reskrim tanggal 21 Juni 2022 guna didengar keterangan sebagai saksi, dengan menawarkan kepada Pemohon untuk mengawini Pelapor kalau tidak akan diancam dengan pasal 81 ayat (2) UU tentang Perlindungan Anak, selanjutnya tanpa adanya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP), dan dengan waktu singkat Termohon menaikkan status Pemohon dari saksi menjadi Tersangka dengan Surat Ketetapan Nomor: S.Tap/38/VII/2022 Reskrim, tanggal 12 Juli 2022 tentang Penetapan Tersangka kepada Pemohon dalam surat Pemberitahuan kepada Kepala Kejaksaan Negeri Minahasa Selatan dalam Surat Nomor :B/422/VII/2022/Reskrim, terlihat kesalahan atau maladminitrasi proses penyidikan pada rujukan angka 1 (satu) tertulis dalam surat perintah penyidikan Nomor :SP.Sidik/142/VII/2022/Reskrim, tanggal 07 Mei 2022 atau surat cacat hukum dimana dalam surat dimulainya penyidikan lebih dahulu dari Laporan Polisi Nomor: LP/B/170/VI/2022/ SPKT/POLRES MINAHASA SELATAN/POLDA SULAWESI UTARA, tanggal 06 Juni 2022. Selain itu proses penetapan Tersangka tanpa memperhatikan :
Pasal 1 angka 5 KUHAP, yang berbunyi :
“Penyelidikan adalah serangkaian tindakan Penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang – undang ini”
Pasal 1 angka 2 KUHAP, yang berbunyi :
“Penyidikan adalah serangkaian tindakan Penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang – undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan Tersangkanya”
Pasal 1 angka 11 jo. Pasal 14 ayat (1) Perkap 12/2009, prosedur penyelesaian perkara termasuk penyidikan dan penetapan Tersangka, harus dilakukan secara profesional, proporsional, dan transparan agar tidak ada penyalahgunaan wewenang dan lebih jauh tidak semata – mata bertendensi menjadikan seseorang menjadi Tersangka.
- Bahwa Termohon mengirimkan surat panggilan kedua pada tanggal 12 Juli 2022 kepada Pemohon untuk menghadap kepada Termohon pada tanggal 14 Juli 2022 setelah adanya surat penetapan sebagai Tersangka dengan Surat Ketetapan Nomor: S.Tap/38/VII/2022 Reskrim, tanggal 12 Juli 2022 tentang Penetapan Tersangka kepada Pemohon, dengan selanjutnya Pemohon ditahan oleh Termohon dengan surat Perintah Penahanan Nomor: SP.Han/36/VII/2022 dengan tidak mendasar hukum terhadap proses hukum yang dilakukan Termohon dengan dugaan tindak pidana persetubuhan dengan anak, sebagaimana dimaksud dalam pasal 81 ayat 2 (2) UU RI No.17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan kedua atas UU RI No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang terhadap Pemohon dengan Pelapor adalah orang yang sudah berusia dewasa pada saat melaporkan kejadian dengan usia 18 tahun 8 bulan, sehingga sepatutnya Laporan (LP) dari Pelapor bukanlah sebagai anak seperti yang diancamkan oleh Termohon dengan UU Perlindungan Anak. Sehingga penetapan Pemohon sebagai Tersangka sudah tidak sesuai prosedur hukum.
- Bahwa Termohon tidak cermat dan teliti dalam mengumpulkan dan memeriksa bukti – bukti untuk membuat terang tentang tindak pidana yang dituduhkan kepada Pemohon, karena Pelapor Mikha SBJP Kaunang yang hamil dalam bukti Visum yang ada yakni pada bulan Juni 2022 hamil 16 Minggu, sehingga jelas Pelapor bersetubuh dengan Pemohon adalah berusia dewasa dan bukannya berusia anak seperti yang dituduhkan oleh Termohon, dengan bukti Visum pada bulan Juni 2022 Pelapor hamil 16 Minggu membuktikan persetubuhan dilakukan oleh suka sama suka oleh orang yang sudah dewasa, sehingga menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dengan UU Perlindungan Anak adalah tidak sesuai dengan prosedur hukum, serta penahanan yang dilakukan Termohon selama 20 Hari, serta diperpanjang selama 40 Hari merupakan perbuatan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dari Pemohon yang dilakukan oleh Termohon.
- Bahwa penetapan Tersangka kepada Pemohon hanya berdasarkan pengakuan sepihak dari Pelapor Mikha SBJP Kaunang dan tidak berkepastian hukum dengan memproses memakai UU tentang Perlindungan Anak. Hal ini tidak sejalan dengan bukti Visum pada Juni 2022 yang usia kehamilan Pelapor adalah 16 Minggu atau 4 bulan. Sehingga jelas persetubuhan dilakukan oleh Pemohon dan Pelapor pada saat bulan Januari/Februari 2022 dan atau pada saat Pelapor sudah berusia dewasa. Dengan demikian proses hukum yang dilakukan oleh Termohon dengan mendasarkan UU tentang Perlindungan Anak adalah proses hukum yang salah atau tidak sesuai proses prosedur hukum yang semestinya.
- Bahwa dalam hukum pidana dikenal dengan asas Kausalitas atau tentang sebab akibat. Untuk delik materiil permasalahan sebab akibat menjadi sangat penting, yaitu adanya hubungan kausal antara suatu tindakan dan akibat yang muncul, dimana suatu tindakan adanya hubungan badan atau persetubuhan antara Pemohon dan Pelapor yang sama-sama sudah berusia dewasa secara hukum dengan akibat adanya kehamilan berdasarkan hasil Visum dari pihak Termohon bahwa kehamilan dari Pelapor pada Juni 2022 adalah 16 Minggu. Sehingga tidaklah mendasar hukum proses yang dilakukan oleh Termohon menggunakan UU Perlindungan Anak, sebab Pelapor adalah orang yang sudah dewasa secara hukum. Jadi Proses hukum yang dilakukan Termohon terhadap Pemohon adalah merupakan proses hukum yang tidak mendasar hukum dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dari Pemohon dengan penerapan UU Perlindungan Anak tersebut.
- Bahwa hal lainnya sesuai Pasal 15 Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana (Perkapolri 14/2012) tanggal 5 Juli 2012 secara tegas menyatakan gelar perkara merupakan salah satu rangkaian tahap kegiatan dalam penyidikan meliputi :
- Penyelidikan;
- Pengiriman SPDP;
- Upaya paksa;
- Pemeriksaan;
- Gelar perkara;
- Penyelesaian berkas perkara;
- Penyerahan berkas perkara ke penuntut umum;
- Penyerahan tersangka dan barang bukti; dan
- Penghentian penyidikan.
Maka berdasarkan Perkap 14/2012 tersebut maka dalam rangkaian tahap kegiatan penyidikan Termohon diwajibkan untuk memberikan atau mengirim SPDP baik kepada pihak Pelapor maupun kepada Pemohon (Terlapor),dan mengadakan gelar perkara, namun terkait ada tidaknya gelar perkara, tidak diketahui oleh Pemohon karena selaku Terlapor tidak diikutsertakan dalam gelar perkara tersebut (jika ada), maka due process law atas penetapan status Tersangka kepada diri Pemohon patut diduga tidak berjalan dengan baik karena tidak sesuai dengan perundang – undangan yang berlaku dimana gelar perkara adalah bagian dari proses dan sistem peradilan pidana terpadu (Integrated Criminal Justice System), jelas pasal pidana dalam UU Perlindungan Anak yang diterapkan oleh Termohon adalah proses hukum yang dipaksakan sehingga merupakan tindakan sewenang-wenang dalam melawan hukum yang dilakukan oleh Termohon, sehingga Pemohon telah ditetapkan sebagai Tersangka secara tidak sah, serta melakukan Penahanan selama 20 hari selanjutnya diperpanjang selama 40 hari oleh Termohon yang merupakan serangkaian tindakan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dari Pemhon yang dilakukan Termohon.
Berdasarkan uraian diatas jelaslah bagi yang mulia hakim praperadilan pada Pengadilan Negeri Amurang bahwa secara formal, gelar perkara (jika ada) yang dilakukan oleh Termohon dengan tidak menghadirkan Pelapor dan Terlapor in casu Pemohon, maka gelar perkara tersebut adalah cacat hukum sehingga penetapan Tersangka atas diri Pemohon tidak sah dan tidak berdasar atas hukum.
Berdasarkan alasan – alasan hukum tersebut diatas dalam kaitannya satu sama lain, maka Pemohon mohon dengan hormat kiranya Ketua Pengadilan Negeri Amurang Cq. Yang Mulia Hakim Praperadilan pada Pengadilan Negeri Amurang berkenan memeriksa dan memutuskan sebagai berikut :
PRIMAIR
- Mengabulkan permohonan Praperadilan Pemohon untuk seluruhnya;
- Menyatakan penetapan Tersangka terhadap Pemohon oleh Termohon terkait dugaan tindak pidana persetubuhan dengan anak, sebagaimana dimaksud dalam pasal 81 ayat 2 (2) UU RI No.17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan kedua atas UU RI No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang, tidak sah dan tidak berdasar atas hukum dan oleh karenanya penetapan aquo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat menurut hukum;
- Menyatakan segala keputusan, penetapan, dan/atau perintah yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkaitan dengan penetapan Pemohon sebagai Tersangka, penahanan kepada Pemohon yang dilakukan Termohon berdasarkan Laporan Polisi Nomor : LP/B/170/VI/2022/ SPKT/POLRES MINAHASA SELATAN/POLDA SULAWESI UTARA, tanggal 06 Juni 2022 oleh Mikha SBJP Kaunang sebagai Pelapor adalah tidak sah dan tidak berdasar atas hukum, dan oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan mengikat menurut hukum;
- Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara aquo.
SUBSIDAIR
Apabila yang mulia hakim praperadilan pada Pengadilan Negeri Amurang yang memeriksa dan mengadili permohonan ini berpendapat lain, mohon putusan yang seadil – adilnya (ex aequo et bono) |