Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI AMURANG
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
2/Pid.Pra/2021/PN Amr OWEN JEHESKIEL LENGKONG Kepala Kepolisian Resor Minahasa Selatan Sektor Tompaso Baru Minutasi
Tanggal Pendaftaran Rabu, 18 Agu. 2021
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penahanan
Nomor Perkara 2/Pid.Pra/2021/PN Amr
Tanggal Surat Rabu, 18 Agu. 2021
Nomor Surat 00000000
Pemohon
NoNama
1OWEN JEHESKIEL LENGKONG
Termohon
NoNama
1Kepala Kepolisian Resor Minahasa Selatan Sektor Tompaso Baru
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

I. DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN

  1. Tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10) praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa  dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap  hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.
  2. Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan :

Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:

  1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
  2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
  3. Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”
  1. Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah:

Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

  1. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
  2. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

 

  1. Bahwa Perpanjangan Penahanan Tersangka adalah merupakan bagian atau tahapan dalam Penahanan Tersangka sebagaimana ditentukan dalam Pasal 20 ayat (1), Pasal 24 ayat (1) KUHAP.

 

II. ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN

 

  1. PERPANJANGAN PENAHANAN ATAS DIRI TERSANGKA OWEN JEHESKIEL LENGKONG ADALAH TIDAK SESUAI Pasal 24 ayat (1) dan (2) KUHAP

 

Pada dasarnya pembatasan jangka waktu masa penahanan bagi seorang Tersangka/ Terdakwa di setiap instansi penegak hukum seperti Penyidik di Kepolisian, Penuntut Umum di Kejaksaan dan Hakim di Pengadilan  telah mempunyai porsi masing-masing sebagaimana yang ditentukan oleh UU No. 1 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Ketentuan mengenai pembatasan jangka waktu penahanan tersebut, juga dapat dimintakan perpanjangan masa penahanan dengan sekali saja pada setiap instansi. Adapun akibat apabila masa tahanan telah lewat dari batas  waktu yang telah ditentukan, siap atau tidak pemeriksaan terhadap seorang Tersangka/ Terdakwa yang dikenakan penahanan, sesuai amanah KUHAP seorang  Tersangka/ Terdakwa haruslah dikeluarkan “demi hukum” dari tahanan tersebut.

 

Penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 21 KUHAP, yaitu:

Penahanan adalah penempatan Tersangka atau Terdakwa ditempat tertentu oleh Penyidik atau Penuntut Umum atau Hakim dengan penetapannya dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

Mengenai batas waktu masa penahanan yang dimiliki instansi penegak hukum seperti Penyidik di Kepolisian sebagaimana amanah Pasal 24 ayat (1) dan (2) KUHAP yaitu:

  1. Perintah penahanan yang diberikan oleh penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, hanya berlaku paling lama dua puluh hari;
  1. Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang   oleh Penuntut Umum yang berwenang untuk paling lama empat puluh hari.

Ketentuan di atas menjelaskan batas waktu masa penahanan untuk keseluruhan pemeriksaan tersangka oleh penyidik yaitu 60 (enam puluh) hari dan yang berwenang memperpanjang masa penanahan yaitu Penuntut Umum. Namun apabila pemeriksaan melewati jangka waktu maksimum yang telah ditentukan maka penyidik harus mengeluarkan Tersangka dari tahanan “demi hukum” atau dengan sendirinya penahanan terhadap Tersangka batal menurut hukum.

Bahwa Pemohon berpendapat --dan kiranya Yang Mulia Hakim Pengadilan yang memeriksa Permohonan ini akan sependapat dengan Pemohon-- bahwa Perpanjangan Penahanan atas diri Tersangka OWEN JEHESKIEL LENGKONG / Pemohon yang ditandatangani oleh Kepala Kepolisian Sektor Tompasobaru, adalah TIDAK SESUAI dengan Pasal 24 ayat (1) dan (2) KUHAP

 

2. PENETAPAN PERPANJANGAN PENAHANAN OLEH TERMOHON ATAS DIRI PEMOHON MERUPAKAN TINDAKAN MELAMPAUI KEWENANGAN DAN BERTENTANGAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM

 

Bahwa dalam hukum administrasi negara Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dilarang melakukan Penyalahgunaan Wewenang. Yang dimaksud dengan Penyalahgunaan wewenang meliputi melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan bertindak sewenang-wenang. Melampaui wewenang adalah melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan tertentu. Mencampuradukkan kewenangan dimana asas tersebut memberikan petunjuk bahwa “pejabat pemerintah atau alat administrasi negara tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan merupakan wewenangnya atau menjadi wewenang pejabat atau badan lain”. Menurut Sjachran Basah “abus de droit” (tindakan sewenang-wenang), yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan. Pendapat ini mengandung pengertian bahwa untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian dengan bagaiamana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas).

  1. Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak azasi manusia (HAM) sehingga azas hukum presumption of innosence atau azas praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan kita tersebut. Bukan hanya kita, negarapun telah menuangkan itu kedalam Konstitusinya (UUD 1945 pasal 1 ayat 3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM serta mesti terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan Hak Azasi Manusia tersebut. Maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikan.
  2. Bahwa sudah umum bilamana kepastian menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama  dari hukum. Apabila dilihat secara historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum semejak Montesquieu memgeluarkan gagasan mengenai pemisahan kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Dari keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Sudikno Mertukusumo kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.
  3. Bertindak sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Penyalahgunaan wewenang juga telah diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Selain itu dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan tentang syarat sahnya sebuah Keputusan.
  4. Sehingga apabila sesuai dengan ulasan Pemohon dalam Permohonan A Quo sebagaimana diulas panjang lebar dalam alasan Permohonan Praperadilan ini dilakukan tidak menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka seyogyanya menurut Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah sebagai berikut :

“Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf a merupakan Keputusan yang tidak sah”

Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf b dan c merupakan Keputusan yang batal atau dapat dibatalkan

 

Berdasarkan ulasan mengenai sah tidaknya Perpanjangan Penahanan atas diri Tersangka OWEN JEHESKIEL LENGKONG adalah sebuah Keputusan apabila dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon dengan melakukan Perpanjangan Penahanan melalui prosedur yang tidak benar, maka Hakim Pengadilan Negeri Amurang yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo dapat menjatuhkan putusan bahwa segala yang berhubungan dengan Perpanjangan Penahanan terhadap Pemohon dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan menurut hukum.

 

 

III. PETITUM

 

Berdasarkan pada argument dan fakta-fakta yuridis di atas, Pemohon mohon kepada Hakim Pengadilan Negeri Amurang yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo berkenan memutus perkara ini dengan diktum, sebagai berikut :

  1. Menerima permohonan Praperadilan dari Pemohon untuk seluruhnya ;
  2. Menyatakan tindakan Termohon melakukan Perpanjangan Penahanan atas diri Pemohon dan menandatangani surat Perpanjangan Penahanan oleh Termohon oleh Kepala Kepolisian Sektor Tompasobaru Nomor SP.Han/10.b/VIII/2021/Reskrim tanggal 13 Agustus 2021, adalah tidak sah dan tidak berdasar hukum dan oleh itu perpanjangan Penahanan Tersangka tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat ;
  3. Menyatakan segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan oleh Termohon atas diri Pemohon yang berkenaan dengan Perpanjangan Penahanan Tersangka, adalah tidak sah ;
  4. Memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap Pemohon ;
  5. Memerintahkan kepada Termohon untuk mengeluarkan Pemohon dari Rumah Tahanan Negara dari Polsek Tompasobaru atau dari Rumah Tahanan Negara Polres Minahasa Selatan dimana Pemohon ditahan;
  6. Memulihkan hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya ;
  7. Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku.

 

Apabila Yang Terhormat Hakim Pengadilan Negeri Amurang yang memeriksa Permohonan a quo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Pihak Dipublikasikan Ya